BAB
I
PENDAHULUAN
Sistem
endokrin merupakan sistem
kelenjar yang memproduksi substans untuk digunakan di dalam tubuh. Kelenjar endokrin
mengeluarkan substansi yang tetap beredar dan bekerja di dalam tubuh. Hormon-hormon ini
mengendalikan atau memacu pertumbuhan, reproduksi, metabolisme makhluk hidup.
Salah satu hormon yang terdapat pada
manusia adalah hormon adrenokortikal. Korteks adrenal
diperlukan bagi kehidupan. Sekresi adrenokortikal memungkinkan tubuh untuk
beradaptasi terhadap segala jenis stress. Hormon adrenokortikal terdiri atas
hormon-hormon yang diproduksi oleh kelenjar adrenal yang terdiri dari dua
bagian yaitu bagian korteks adrenal dan medulla adrenal. Hormon yang diproduksi
dan disekresikan oleh korteks adrenal berupa hormon steroid yaitu:
mineralokortikoid pada zona glomerulosa, glukokortikoid dan androgen adrenal
pada zona fasikulata dan zona retikularis
(Guyton & Hall, 2007). Bagian medulla
adrenal memproduksi dan mensekresikan hormon katekolamin berupa epinefrin dan
norepinefrin.
Latihan berpengaruh pada sistem
endokrin pada manusia. Latihan merupakan stres fisik yang berpengaruh pada
sistem hormonal termasuk pada hormon adrenokortikal. Melihat fenomena di atas,
akan dibahas tentang perlunya mengetahui fungsi hormon adrenokortikal dan perubahan-perubahan
yang terjadi pada hormon adrenokortikal karena pengaruh latihan fisik.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.2 Glukokortikoid (Kortisol)
2.2.1 Fungsi / Efek Fisiologis
Glukokortikoid merupakan golongan hormon
steroid yang memberikan pengaruh terhadap metabolisme
nutrisi (GLENCOE, 2010).
Penamaan glukokortikoid (glukosa + korteks + steroid)
menunjukkan keberadaan golongan ini sebagai regulator glukosa yang disintensis
pada korteks adrenal dan mempunyai struktur steroid. Glukokortikoid adalah
semua kortikosteroid (streroid yang diproduksi oleh kelenjar adrenal) yang
mengatur metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein dan menghambat pelepasan
hormon adrenokortikotropin. Beberapa mempunyai aktivitas mineralkortikoid pada
berbagai tingkat. Pada manusia yang terpenting adalah kortisol. Kortisol sendiri
adalah glukokortikoid alami utama yang disintesis dalam zona fasciculata cortex
adrenalis, mempengaruhi metabolisme glukosa, protein, dan lipid dan memiliki
aktivitas mineralkortikoid yang cukup berarti.
Hormon
golongan glukokortikoid
mengaktivasi konversi protein menjadi glukosa melalui lintasan glukoneogenesis
di dalam hati dan
menstimulasi konversi lebih lanjut menjadi glikogen (Hamilton, 2003).
Peningkatan senyawa nitrogen pada urin yang terjadi setelah peningkatan glukokortikoid merupakan
akibat dari mobilisasi asam amino dari protein yang mengalami reaksi proteolitik dan adanya senyawa
karbon yang
terjadi sepanjang lintasan glukoneogenesis.
2.2.2 Pengaruh Latihan Terhadap Kortisol
Hasil
pengaruh
latihan terhadap
hormon korteks adrenal, yaitu
kortisol bervariasi. Misalnya, dengan berolahraga
ringan atau sedang, mungkin tidak
ada perubahan atau penurunan
kecil di tingkat darah kortisol. Namun jika prolonged
exercise, peningkatan
kortisol dapat dilihat. Perubahan sekresi kortisol
dengan latihan seperti ini mungkin
dirangsang oleh peningkatan pelepasan
hormon adrenokortikotropik (ACTH)
yang dapat
meningkat menjadi dua dan lima kali daripada saat istirahat, meliputi 20 menit berlari pada 80% dari VO2 max dan lari progresif hingga lelah (Fox, 1993).
Sebuah penelitian yang dilakukan
oleh Jacks et al (2002), ada
perbedaan perubahan konsentrasi kortisol saat orang coba melakukan latihan
dengan intensitas rendah, sedang, dan tinggi. Pada hasil penelitian di atas
menerangkan bahwa latihan dengan intensitas tinggi ada peningkatan signifikan
pada kortisol setelah menit 20 menit dengan lama durasi 59 menit.
Pada latihan aerobik dalam jangka
lama, kortisol
jelas berfungsi untuk menjaga simpanan karbohidrat dalam tubuh. Kortisol meningkatkan bahan bakar alternatif untuk otot,
seperti asam lemak dan asam amino (dari asam amino otot dan katabolisme protein), dan
memasok bahan bakar (asam amino) untuk hati untuk meningkatkan produksi
glukosa. Semua fungsi-fungsi ini meningkat selama masa nutrisi karbohidrat
tubuh yang rendah, seperti ketika glukosa darah turun. Dengan demikian, ketika
melakukan latihan aerobik yang panjang, efek otot katabolik kortisol dapat dikurangi hanya dengan
menjaga glukosa darah, yang pada gilirannya paling baik dilakukan melalui
konsumsi karbohidrat (cair dan / atau padat).
Sebuah peningkatan sekresi kortisol
adalah respon umum terhadap stres. Oleh karena itu, dalam latihan ringan dimana stres mungkin rendah, tidak ada
perubahan kortisol dapat dideteksi. Di sisi lain, selama latihan berat, stres adalah maksimal, dan
kortisol akan meningkat. Kortisol pada saat latihan akan berpengaruh gluconeogenic pada hati.
Glukoneogenesis melibatkan pembentukan glukosa dari sumber noncarbohydrate
(lemak dan protein) sehingga membuat glukosa lebih tersedia sebagai bahan bakar
metabolik (Fox, 1993).
2.3 Epinefrin dan
Norepinifrin
2.3.1 Fungsi dan Efek
Fisiologis Epinefrin
Hormon epinefrin berfungsi memicu
reaksi terhadap tekanan dan kecepatan gerak tubuh. Tidak hanya gerak, hormon
ini pun memicu reaksi terhadap efek lingkungan seperti suara derau tinggi atau
intensitas cahaya yang tinggi. Reaksi yang sering dirasakan adalah frekuensi
detak jantung meningkat, keringat dingin dan keterkejutan/shok.
Fungsi hormon ini mengatur
metabolisme glukosa terutama disaat stres. Hormon epinefrin timbul sebagai
stimulasi otak, menjadi waswas dan siaga. Dan secara tidak langsung akan
membuat indra kita menjadi lebih sensitif untuk bereaksi. Stres dapat
meningkatkan produksi kelenjar atau hormon epinefrin. Sebenarnya, jika tidak
berlebihan, hormon bisa berakibat positif, lebih terpacu untuk bekerja atau
membuat lebih fokus. Tetapi, jika hormon diproduksi berlebihan akibat stres
yang berkepanjangan, akan terjadi kondisi kelelahan bahkan menimbulkan depresi.
Penyakit fisik juga mudah berdatangan, akibat dari darah yang terpompa lebih
cepat, sehingga menganggu fungsi metabolisme dan proses oksidasi di dalam
tubuh.
Epinefrin selalu akan dapat
menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan
kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir
dalam waktu pendek. Hormon epinefrin menyebar di seluruh tubuh, dan menimbulkan
tanggapan yang sangat luas: laju dan kekuatan denyut jantung meningkat sehingga
tekanan darah meningkat, kadar gula darah dan laju metabolisme meningkat,
bronkus membesar sehingga memungkinkan udara masuk dan keluar paru-paru lebih
mudah, pupil mata membesar, kelopak mata terbuka lebar, dan diikuti dengan
rambut berdiri.
Keadaan stres akan merangsang
pengeluaran hormon epinefrin secara berlebihan sehingga menyebabkan jantung
berdebar keras dan cepat. Hormon epinefrin diproduksi dalam jumlah banyak pada
saat sedang marah. Indikasi stres adalah sulit tidur, cepat lelah, mudah terusik,
kepala pusing, dan sebagainya. Penderita stres umumnya juga kehilangan nafsu
makan.
Hormon epinefrin mempengaruhi otak
akan membuat indra perasa merasa kebal terhadap sakit, kemampuan berpikir dan
ingatan meningkat, paru-paru menyerap oksigen lebih banyak, glukogen diubah
menjadi glukosa yang bersama-sama dengan oksigen merupakan sumber energi. Detak
jantung dan tekanan darah juga meningkat sehingga metabolisme meningkat.
2.3.2 Fungsi dan Efek
Fisiologis Norepinefrin
Norepinefrin adalah neurotransmitter dengan
konsentrasi yang berat di daerah otak yang mengatur rasa nyaman dan perasaan
emosional lainnya. Ketika norepinefrin berada pada kadar tinggi akan memicu
perasaan euforia; ketika kadarnya rendah akan memicu perasaan depresi.
2.3.3 Pengaruh
Latihan Terhadap Epinefrin dan Norepinifrin
2.3.3.1 Pada Sistem
Kardiovaskuler
Olahraga
teratur membuat sistem kardiovaskular lebih efisien memompa darah dan
menyalurkan oksigen ke otot-otot yang bekerja. Pelepasan adrenalin dan asam
laktat ke darah akan meningkatkan denyut jantung. Olahraga meningkatkan kerja
beberapa komponen berbeda pada sistem kardiovaskular, seperti stroke volume
(SV), cardiac output, tekanan darah sistolik, dan tekanan arterial rata-rata.
Saat istirahat, otot menerima kurang lebih 20% dari aliran darah total, tetapi
selama olahraga, aliran darah ke otot meningkat sampai 80-85%.
Stroke
volume (SV) dikontrol oleh volume akhir diastolik, tekanan
darah rata-rata aorta dan kekuatan kontraksi ventrikel. Volume akhir diastolik = jika volume akhir diastolik
meningkat, SV juga meningkat. Dengan meningkatnya volume akhir diastolik,
peregangan ringan pada serat otot jantung akan meningkatkan kekuatan
kontraksinya.
Kekuatan kontraksi ventrikel=
epinefrin dan norepinefrin dapat meningkatkan kontraktilitas jantung dengan
meningkatkan konsentrasi kalsium pada serat otot jantung. Epinefrin dan
norepinefrin memudahkan masukan kalsium yang lebih besar melalui kanal kasium
di membran serat otot jantung. Hal ini membuat interaksi yang lebih besar dari
aktin dan myosin dan meningkatkan keseimbangan.
2.3.3.2 Pada Sistem Pencernaan
Traktus gastrointestinal memiliki sistem
persarafan sendiri yang disebut sistem saraf enterik. Sistem ini
seluruhnya terletak di dinding usus, mulai dari esofagus dan memanjang sampai ke
anus. Jumlah neuron pada sistem enterik ini sekitar 100 juta, hampir sama
dengan jumlah pada keseluruhan medula spinalis; Sistem saraf enterik yang
sangat berkembang ini bersifat penting, terutama dalam mengatur fungsi
pergerakan dan gastrointestinal.
Sistem saraf enterik terutama terdiri atas dua
pleksus: (1) pleksus bagian luar yang terletak diantara lapisan otot
longitudinala dan sirkular, disebut pleksus mienterikus atau pleksus
Auerbach, dan (2) satu pleksus bagian dalam, disebut pleksus submukosa
atau pleksus meissner yang terletak di dalam submukosa.
Serat-serat praganglion simpatis dan
parasimpatis mengeluarkan neurotransmitter yang sama, yaitu asetilkolin (Ach), tetapi ujung-ujung pasca ganglion kedua system ini mengeluarkan
neurotransmitter yang berlainan (neurotransmitter yang mempengaruhi organ
efektor). Serat-serat pascaganglion parasimpatis mengeluarkan asetilkolin.
Dengan demikian, serat-serat itu bersama dengan semua serat praganglion otonom,
disebut serat
kolinergik. Sebaliknya sebagian besar serat
pascaganglion simpatis disebut serat adrenergic, karena mengeluarkan noradrenalin, lebih umum dikel sebagai norepinefrin. Baik asetilkolin maupun
norepinefrin juga berfungsi sebagai menurunkan motilitas usus dan zat perantara
kimiawi di bagian tubuh lainnya
2.3.3.3
Pada
Uterus
Otot polos
uterus mausia mempunyai reseptor α1 dan β2. Reseptornya terhadap epinefrin
berbeda-beda, tergantung pada fase kehamilan dan dosis yang diberikan. Selama
kehamilan bulan terakhir dan diwaktu partus, epinefrin menghambat tonus dan
kontraksi uterus melalui reseptor p21 efek ini tidak mempunyai arti klinis
karena singkat dan disertai efek kardiovaskuler. Epinefrin menyebabkan
relaksasi otot detrusor melalui reseptor β2 dan kontraksi otot trigon dan
sfingter melalui reseptor α1 sehingga dapt menimbulkan kesulitan urinasi serta
retensi urin dalam kandungan kemih.
2.3.3.4 Pada Sistem
Pernafasan
Epinefrin
mempengaruhi pernafasan terutama dengan cara merelaksasi otot bronkus melalui
reseptor β2, efek bronkodilatasi ini jelas sekali bila sudah ada kontraksi otot
polos bronkus karena asma bronkial, histamin, ester kolin, pilokarpin,
bradikinin zat penyebab anafilaksasi yang bereaksi lambat (SRS-A) dan
lain-lain. Di sini epinefrin bekerja sebagai antagonis fisiologik. Pada asma
epinefrin juga menghambat pelepasan mediator inflamasi dari sel-sel mast
melalui reseptor β2, serta mengurangi sekresi bronkus dan kongesti mukosa
melalui reseptor α1.
2.3.3.5 Pada Susunan Saraf Pusat
(SSP)
Epinefrin pada
dosis terapi tidak mempunyai efek stimulasi SSP yang kuat karena obat ini
relatif polar sehingga sukar masuk SSP, tetapi pada banyak orang epinefrin
dapat menimbulkan kegelisahan, rasa kuatir, nyeri kepala dan tremor, sebagian
karena efeknya metabolik. Epinefrin menstimulasi glikogenolisis di sel hati dan
otot rangka melalui reseptor β2 glikogen
di ubah menjadi glukosa-1-fosfat dan kemudian glukosa-6-fosfat. Hati mempunyai
glukosa-6-fosfatase tetapi otot rangka tidak, sehingga hati melepas glukosa
sedangkan otot rangka melepas asam laktat. Epinefrin juga menyebabkan
penghambatan sekresi insulin akibat dominasi reseptor 0.2 yang menghambat,
terhadap aktivasi reseptor yang menstimulasi sekresi insulin. Selain itu
epinefrin menyebabkan berkurangnya ambilan (uptake) glukosa oleh jaringan
perifer, sebagian akibat efeknya pada sekresi insulin. Akibatnya terjadi
peningkatan kadar glukosa dan laktat dalam darah dan penurunan kadar glikogen
dalam hatindan otot rangka.
Epinefrin
melalui aktivasi reseptor β3 meningkatkan aktivasi lipase trigliserida dalam
jaringan lemak, sehingga mempercepat pemecahan trigliserida menjadi asam lemak
bebas dan gliserol. Akibatnya kadar asam lemak bebas dalam darah meningkat.
Efek kalorigenik
epinefrin terlihat sebagai peningkatan pemakaian oksigen sebanyak 20-30% pada
pemberian dosis terapi. Efek ini terutama disebabkan oleh peningkatan
katabolisme lemak, yang lebih banyak menyediakan subtrat untuk dioksidasi. Suhu
badan sedikit meningkat, hal ini antara lain disebabkan vasokontriksi di kulit.
2.3.3.6 Pada Kelenjar
Efek Epinefrin
tehadap kelenjar tidak nyata, kebanyakan kelenjar mengalami penghambatan
sekresi, sebagian disebabkan berkurangnya aliran darah akibat vasokontriksi.
Epinefrin merangsang sekresi air mata dan sedikit sekresi mukus dari kelenjar
ludah.
Aktivitas
pilomotor tidak timbul setelah pemberian epinefrin secara sistematik tetapi
timbul setelah penyuntikan intradermal larutan Epinefrin atau NE yang sangat
encer; demikian juga dengan pengeluaran keringat dari kelenjar keringat apokrin
di telapak tangan dan beberapa tempat lain (adrenergic sweating). Efek-efek ini
dihambat oleh α-bloker.
2.3.3.7 Pada Mata
Midriasis mudah
terjadi pada perangsangan simpatis letapi tidak bila Epinefrin diteteskan pada
konyungtiva mata normal. Tetapi, Epinefrin biasanya menurunkan tekanan
intraokuler yang normal maupun pada penderita glaukoma sudut lebar. Timbulnya efek
Ini mungkin karena berkurangnya pembentukan cairan mata akibat vasokonstriksi
dan karena bertambahnya aliran ke luar. Anehnya, timbul suatu β-bloker, juga
mengurangi tekanan intrakuler dan efektif untuk pengobatan glaukoma.
2.3.3.8 Pada Otot
Rangka
Epinefrin tidak langsung merangsang otot
rangka, tetapi melalui aktivasi reseptor α dan β pada ujung saraf somatik,
Epinefrin meningkatkan influks Ca++ (reseptor α) dan meningkatkan kadar siklik
AMP intrasel freseptor β) sehingga meningkatkan penglepasan neurotransmitor ACh
pada setiap impuls dan terjadi fasilitasi transmisi saraf-otot. Hal ini terjadi
terutama setelah stimulasi saraf somatik yang terus-menerus. Epinefrin dan
β-agonis memperpendek masa aktif otot merah yang kontraksinya lambat (dengan
mempercepat sekuestrasi Ca++ dalam sitoplasma) sehingga stimulasi saraf pada
kecepatan fisiologis menyebabkan kontraksi otot yang terjadi tidak bergabung dengan sempurna
dan dengan demikian kekuatan kontraksinya berkurang. Efek ini disertai dengan
peningkatan aktivitas listrik dari otot (akibat aktivasi reseptor β) sehingga menyebabkan
terjadinya tremor.
BAB III
RINGKASAN
Pada latihan fisik, ringan atau sedang, mungkin tidak ada perubahan atau penurunan kecil di tingkat darah kortisol.
Namun jika prolonged exercise,
peningkatan kortisol terjadi secara signifikan.
Perubahan sekresi kortisol dengan latihan seperti ini mungkin dirangsang oleh peningkatan pelepasan hormon
adrenokortikotropik (ACTH) yang dapat meningkat menjadi dua
dan lima kali daripada saat istirahat.
Olahraga
teratur membuat sistem kardiovaskular lebih efisien memompa darah dan
menyalurkan oksigen ke otot-otot yang bekerja. Pelepasan adrenalin dan asam
laktat ke darah akan meningkatkan denyut jantung. Olahraga meningkatkan kerja
beberapa komponen berbeda pada sistem kardiovaskular, seperti stroke volume
(SV), cardiac output, tekanan darah sistolik, dan tekanan arterial rata-rata.
DAFTAR PUSTAKA
http//emedicine.medscape.com/artikel.88484
overview pada 2012-12-11
Guyton & Hall,
2007. Buku Saku Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Buku Kedokteran: EGC.
Fox, E.L, Bowers R.W, and Foss, ML.
1993. The Physiological Basic Of Exercise and
Sport. Fifth edition. USA.Wim C. Brown Publisher.
Ganong, WF.2001. Review of medical physiology. 20 th edition. USA; Mc Graw- Hill.
Hamilton on BC Decker Inc. 2003. Physiologic and Pharmacologic Effects of Corticosteroids.
Accesed 27 November 2012.
Sherwood, L. 2010.
Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta. ECG.
0 Comment to "PENGARUH LATIHAN FISIK TERHADAP HORMON ADRENOKORTIKAL"
Post a Comment