Monday, February 12, 2018

PENGARUH LATIHAN FISIK TERHADAP HORMON ADRENOKORTIKAL

Sport_Medicine_Online

BAB I
PENDAHULUAN
            Sistem endokrin merupakan sistem kelenjar yang memproduksi substans untuk digunakan di dalam tubuh. Kelenjar endokrin mengeluarkan substansi yang tetap beredar dan bekerja di dalam tubuh. Hormon-hormon ini mengendalikan atau memacu pertumbuhan, reproduksi, metabolisme makhluk hidup.
            Salah satu hormon yang terdapat pada manusia adalah hormon adrenokortikal. Korteks adrenal diperlukan bagi kehidupan. Sekresi adrenokortikal memungkinkan tubuh untuk beradaptasi terhadap segala jenis stress. Hormon adrenokortikal terdiri atas hormon-hormon yang diproduksi oleh kelenjar adrenal yang terdiri dari dua bagian yaitu bagian korteks adrenal dan medulla adrenal. Hormon yang diproduksi dan disekresikan oleh korteks adrenal berupa hormon steroid yaitu: mineralokortikoid pada zona glomerulosa, glukokortikoid dan androgen adrenal pada zona fasikulata dan zona retikularis (Guyton & Hall, 2007). Bagian medulla adrenal memproduksi dan mensekresikan hormon katekolamin berupa epinefrin dan norepinefrin.
            Latihan berpengaruh pada sistem endokrin pada manusia. Latihan merupakan stres fisik yang berpengaruh pada sistem hormonal termasuk pada hormon adrenokortikal. Melihat fenomena di atas, akan dibahas tentang perlunya mengetahui fungsi hormon adrenokortikal dan perubahan-perubahan yang terjadi pada hormon adrenokortikal karena pengaruh latihan fisik.
           
BAB II
PEMBAHASAN
2.2 Glukokortikoid (Kortisol)
2.2.1 Fungsi / Efek Fisiologis

            Glukokortikoid merupakan golongan hormon steroid yang memberikan pengaruh terhadap metabolisme nutrisi (GLENCOE, 2010). Penamaan glukokortikoid (glukosa + korteks + steroid) menunjukkan keberadaan golongan ini sebagai regulator glukosa yang disintensis pada korteks adrenal dan mempunyai struktur steroid. Glukokortikoid adalah semua kortikosteroid (streroid yang diproduksi oleh kelenjar adrenal) yang mengatur metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein dan menghambat pelepasan hormon adrenokortikotropin. Beberapa mempunyai aktivitas mineralkortikoid pada berbagai tingkat. Pada manusia yang terpenting adalah kortisol. Kortisol sendiri adalah glukokortikoid alami utama yang disintesis dalam zona fasciculata cortex adrenalis, mempengaruhi metabolisme glukosa, protein, dan lipid dan memiliki aktivitas mineralkortikoid yang cukup berarti.
            Hormon golongan glukokortikoid mengaktivasi konversi protein menjadi glukosa melalui lintasan glukoneogenesis di dalam hati dan menstimulasi konversi lebih lanjut menjadi glikogen (Hamilton, 2003). Peningkatan senyawa nitrogen pada urin yang terjadi setelah peningkatan glukokortikoid merupakan akibat dari mobilisasi asam amino dari protein yang mengalami reaksi proteolitik dan adanya senyawa karbon yang terjadi sepanjang lintasan glukoneogenesis.
2.2.2 Pengaruh Latihan Terhadap Kortisol

Hasil pengaruh latihan terhadap hormon korteks adrenal, yaitu kortisol bervariasi. Misalnya, dengan berolahraga ringan atau sedang, mungkin tidak ada perubahan atau penurunan kecil di tingkat darah kortisol. Namun jika prolonged exercise, peningkatan kortisol dapat dilihat. Perubahan sekresi kortisol dengan latihan seperti ini mungkin dirangsang oleh peningkatan pelepasan hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dapat meningkat menjadi dua dan lima kali daripada saat istirahat, meliputi 20 menit berlari pada 80% dari VO2 max dan lari progresif hingga lelah (Fox, 1993).
         Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Jacks et al (2002), ada perbedaan perubahan konsentrasi kortisol saat orang coba melakukan latihan dengan intensitas rendah, sedang, dan tinggi. Pada hasil penelitian di atas menerangkan bahwa latihan dengan intensitas tinggi ada peningkatan signifikan pada kortisol setelah menit 20 menit dengan lama durasi 59 menit.
            Pada latihan aerobik dalam jangka lama, kortisol jelas berfungsi untuk menjaga simpanan karbohidrat dalam tubuh. Kortisol meningkatkan bahan bakar alternatif untuk otot, seperti asam lemak dan asam amino (dari asam amino otot dan katabolisme protein), dan memasok bahan bakar (asam amino) untuk hati untuk meningkatkan produksi glukosa. Semua fungsi-fungsi ini meningkat selama masa nutrisi karbohidrat tubuh yang rendah, seperti ketika glukosa darah turun. Dengan demikian, ketika melakukan latihan aerobik yang panjang, efek otot katabolik kortisol dapat dikurangi hanya dengan menjaga glukosa darah, yang pada gilirannya paling baik dilakukan melalui konsumsi karbohidrat (cair dan / atau padat).
            Sebuah peningkatan sekresi kortisol adalah respon umum terhadap stres. Oleh karena itu, dalam latihan ringan dimana stres mungkin rendah, tidak ada perubahan kortisol dapat dideteksi. Di sisi lain, selama latihan berat, stres adalah maksimal, dan kortisol akan meningkat. Kortisol pada saat latihan akan berpengaruh gluconeogenic pada hati. Glukoneogenesis melibatkan pembentukan glukosa dari sumber noncarbohydrate (lemak dan protein) sehingga membuat glukosa lebih tersedia sebagai bahan bakar metabolik (Fox, 1993).

2.3 Epinefrin dan Norepinifrin
2.3.1 Fungsi dan Efek Fisiologis Epinefrin

Hormon epinefrin berfungsi memicu reaksi terhadap tekanan dan kecepatan gerak tubuh. Tidak hanya gerak, hormon ini pun memicu reaksi terhadap efek lingkungan seperti suara derau tinggi atau intensitas cahaya yang tinggi. Reaksi yang sering dirasakan adalah frekuensi detak jantung meningkat, keringat dingin dan keterkejutan/shok.
Fungsi hormon ini mengatur metabolisme glukosa terutama disaat stres. Hormon epinefrin timbul sebagai stimulasi otak, menjadi waswas dan siaga. Dan secara tidak langsung akan membuat indra kita menjadi lebih sensitif untuk bereaksi. Stres dapat meningkatkan produksi kelenjar atau hormon epinefrin. Sebenarnya, jika tidak berlebihan, hormon bisa berakibat positif, lebih terpacu untuk bekerja atau membuat lebih fokus. Tetapi, jika hormon diproduksi berlebihan akibat stres yang berkepanjangan, akan terjadi kondisi kelelahan bahkan menimbulkan depresi. Penyakit fisik juga mudah berdatangan, akibat dari darah yang terpompa lebih cepat, sehingga menganggu fungsi metabolisme dan proses oksidasi di dalam tubuh.
Epinefrin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek. Hormon epinefrin menyebar di seluruh tubuh, dan menimbulkan tanggapan yang sangat luas: laju dan kekuatan denyut jantung meningkat sehingga tekanan darah meningkat, kadar gula darah dan laju metabolisme meningkat, bronkus membesar sehingga memungkinkan udara masuk dan keluar paru-paru lebih mudah, pupil mata membesar, kelopak mata terbuka lebar, dan diikuti dengan rambut berdiri.
Keadaan stres akan merangsang pengeluaran hormon epinefrin secara berlebihan sehingga menyebabkan jantung berdebar keras dan cepat. Hormon epinefrin diproduksi dalam jumlah banyak pada saat sedang marah. Indikasi stres adalah sulit tidur, cepat lelah, mudah terusik, kepala pusing, dan sebagainya. Penderita stres umumnya juga kehilangan nafsu makan.
Hormon epinefrin mempengaruhi otak akan membuat indra perasa merasa kebal terhadap sakit, kemampuan berpikir dan ingatan meningkat, paru-paru menyerap oksigen lebih banyak, glukogen diubah menjadi glukosa yang bersama-sama dengan oksigen merupakan sumber energi. Detak jantung dan tekanan darah juga meningkat sehingga metabolisme meningkat.

2.3.2 Fungsi dan Efek Fisiologis Norepinefrin
Norepinefrin adalah neurotransmitter dengan konsentrasi yang berat di daerah otak yang mengatur rasa nyaman dan perasaan emosional lainnya. Ketika norepinefrin berada pada kadar tinggi akan memicu perasaan euforia; ketika kadarnya rendah akan memicu perasaan depresi.


2.3.3  Pengaruh Latihan Terhadap Epinefrin dan Norepinifrin
2.3.3.1 Pada Sistem Kardiovaskuler

            Olahraga teratur membuat sistem kardiovaskular lebih efisien memompa darah dan menyalurkan oksigen ke otot-otot yang bekerja. Pelepasan adrenalin dan asam laktat ke darah akan meningkatkan denyut jantung. Olahraga meningkatkan kerja beberapa komponen berbeda pada sistem kardiovaskular, seperti stroke volume (SV), cardiac output, tekanan darah sistolik, dan tekanan arterial rata-rata. Saat istirahat, otot menerima kurang lebih 20% dari aliran darah total, tetapi selama olahraga, aliran darah ke otot meningkat sampai 80-85%.
      Stroke volume (SV) dikontrol oleh volume akhir diastolik, tekanan darah rata-rata aorta dan kekuatan kontraksi ventrikel. Volume akhir diastolik = jika volume akhir diastolik meningkat, SV juga meningkat. Dengan meningkatnya volume akhir diastolik, peregangan ringan pada serat otot jantung akan meningkatkan kekuatan kontraksinya.
      Kekuatan kontraksi ventrikel= epinefrin dan norepinefrin dapat meningkatkan kontraktilitas jantung dengan meningkatkan konsentrasi kalsium pada serat otot jantung. Epinefrin dan norepinefrin memudahkan masukan kalsium yang lebih besar melalui kanal kasium di membran serat otot jantung. Hal ini membuat interaksi yang lebih besar dari aktin dan myosin dan meningkatkan keseimbangan.

2.3.3.2 Pada Sistem Pencernaan

Traktus gastrointestinal memiliki sistem persarafan sendiri yang disebut sistem saraf enterik. Sistem ini seluruhnya terletak di dinding usus, mulai dari esofagus dan memanjang sampai ke anus. Jumlah neuron pada sistem enterik ini sekitar 100 juta, hampir sama dengan jumlah pada keseluruhan medula spinalis; Sistem saraf enterik yang sangat berkembang ini bersifat penting, terutama dalam mengatur fungsi pergerakan dan gastrointestinal.
Sistem saraf enterik terutama terdiri atas dua pleksus: (1) pleksus bagian luar yang terletak diantara lapisan otot longitudinala dan sirkular, disebut pleksus mienterikus atau pleksus Auerbach, dan (2) satu pleksus bagian dalam, disebut pleksus submukosa atau pleksus meissner yang terletak di dalam submukosa.
Serat-serat praganglion simpatis dan parasimpatis mengeluarkan neurotransmitter yang sama, yaitu asetilkolin (Ach), tetapi ujung-ujung pasca ganglion kedua system ini mengeluarkan neurotransmitter yang berlainan (neurotransmitter yang mempengaruhi organ efektor). Serat-serat pascaganglion parasimpatis mengeluarkan asetilkolin. Dengan demikian, serat-serat itu bersama dengan semua serat praganglion otonom, disebut serat kolinergik. Sebaliknya sebagian besar serat pascaganglion simpatis disebut serat adrenergic, karena mengeluarkan noradrenalin, lebih umum dikel sebagai norepinefrin. Baik asetilkolin maupun norepinefrin juga berfungsi sebagai menurunkan motilitas usus dan zat perantara kimiawi di bagian tubuh lainnya

2.3.3.3 Pada Uterus
Otot polos uterus mausia mempunyai reseptor α1 dan β2. Reseptornya terhadap epinefrin berbeda-beda, tergantung pada fase kehamilan dan dosis yang diberikan. Selama kehamilan bulan terakhir dan diwaktu partus, epinefrin menghambat tonus dan kontraksi uterus melalui reseptor p21 efek ini tidak mempunyai arti klinis karena singkat dan disertai efek kardiovaskuler. Epinefrin menyebabkan relaksasi otot detrusor melalui reseptor β2 dan kontraksi otot trigon dan sfingter melalui reseptor α1 sehingga dapt menimbulkan kesulitan urinasi serta retensi urin dalam kandungan kemih.

2.3.3.4 Pada Sistem Pernafasan
Epinefrin mempengaruhi pernafasan terutama dengan cara merelaksasi otot bronkus melalui reseptor β2, efek bronkodilatasi ini jelas sekali bila sudah ada kontraksi otot polos bronkus karena asma bronkial, histamin, ester kolin, pilokarpin, bradikinin zat penyebab anafilaksasi yang bereaksi lambat (SRS-A) dan lain-lain. Di sini epinefrin bekerja sebagai antagonis fisiologik. Pada asma epinefrin juga menghambat pelepasan mediator inflamasi dari sel-sel mast melalui reseptor β2, serta mengurangi sekresi bronkus dan kongesti mukosa melalui reseptor α1.

2.3.3.5 Pada Susunan Saraf Pusat (SSP)
Epinefrin pada dosis terapi tidak mempunyai efek stimulasi SSP yang kuat karena obat ini relatif polar sehingga sukar masuk SSP, tetapi pada banyak orang epinefrin dapat menimbulkan kegelisahan, rasa kuatir, nyeri kepala dan tremor, sebagian karena efeknya metabolik. Epinefrin menstimulasi glikogenolisis di sel hati dan otot rangka melalui reseptor  β2 glikogen di ubah menjadi glukosa-1-fosfat dan kemudian glukosa-6-fosfat. Hati mempunyai glukosa-6-fosfatase tetapi otot rangka tidak, sehingga hati melepas glukosa sedangkan otot rangka melepas asam laktat. Epinefrin juga menyebabkan penghambatan sekresi insulin akibat dominasi reseptor 0.2 yang menghambat, terhadap aktivasi reseptor yang menstimulasi sekresi insulin. Selain itu epinefrin menyebabkan berkurangnya ambilan (uptake) glukosa oleh jaringan perifer, sebagian akibat efeknya pada sekresi insulin. Akibatnya terjadi peningkatan kadar glukosa dan laktat dalam darah dan penurunan kadar glikogen dalam hatindan otot rangka.
            Epinefrin melalui aktivasi reseptor β3 meningkatkan aktivasi lipase trigliserida dalam jaringan lemak, sehingga mempercepat pemecahan trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Akibatnya kadar asam lemak bebas dalam darah meningkat.
Efek kalorigenik epinefrin terlihat sebagai peningkatan pemakaian oksigen sebanyak 20-30% pada pemberian dosis terapi. Efek ini terutama disebabkan oleh peningkatan katabolisme lemak, yang lebih banyak menyediakan subtrat untuk dioksidasi. Suhu badan sedikit meningkat, hal ini antara lain disebabkan vasokontriksi di kulit.

2.3.3.6 Pada Kelenjar
Efek Epinefrin tehadap kelenjar tidak nyata, kebanyakan kelenjar mengalami penghambatan sekresi, sebagian disebabkan berkurangnya aliran darah akibat vasokontriksi. Epinefrin merangsang sekresi air mata dan sedikit sekresi mukus dari kelenjar ludah.
Aktivitas pilomotor tidak timbul setelah pemberian epinefrin secara sistematik tetapi timbul setelah penyuntikan intradermal larutan Epinefrin atau NE yang sangat encer; demikian juga dengan pengeluaran keringat dari kelenjar keringat apokrin di telapak tangan dan beberapa tempat lain (adrenergic sweating). Efek-efek ini dihambat oleh α-bloker.

2.3.3.7 Pada Mata
Midriasis mudah terjadi pada perangsangan simpatis letapi tidak bila Epinefrin diteteskan pada konyungtiva mata normal. Tetapi, Epinefrin biasanya menurunkan tekanan intraokuler yang normal maupun pada penderita glaukoma sudut lebar. Timbulnya efek Ini mungkin karena berkurangnya pembentukan cairan mata akibat vasokonstriksi dan karena bertambahnya aliran ke luar. Anehnya, timbul suatu β-bloker, juga mengurangi tekanan intrakuler dan efektif untuk pengobatan glaukoma.

2.3.3.8 Pada Otot Rangka
Epinefrin tidak langsung merangsang otot rangka, tetapi melalui aktivasi reseptor α dan β pada ujung saraf somatik, Epinefrin meningkatkan influks Ca++ (reseptor α) dan meningkatkan kadar siklik AMP intrasel freseptor β) sehingga meningkatkan penglepasan neurotransmitor ACh pada setiap impuls dan terjadi fasilitasi transmisi saraf-otot. Hal ini terjadi terutama setelah stimulasi saraf somatik yang terus-menerus. Epinefrin dan β-agonis memperpendek masa aktif otot merah yang kontraksinya lambat (dengan mempercepat sekuestrasi Ca++ dalam sitoplasma) sehingga stimulasi saraf pada kecepatan fisiologis menyebabkan kontraksi otot yang terjadi tidak bergabung dengan sempurna dan dengan demikian kekuatan kontraksinya berkurang. Efek ini disertai dengan peningkatan aktivitas listrik dari otot (akibat aktivasi reseptor β) sehingga menyebabkan terjadinya tremor.

BAB III
RINGKASAN
            Pada latihan fisik, ringan atau sedang, mungkin tidak ada perubahan atau penurunan kecil di tingkat darah kortisol. Namun jika prolonged exercise, peningkatan kortisol terjadi secara signifikan. Perubahan sekresi kortisol dengan latihan seperti ini mungkin dirangsang oleh peningkatan pelepasan hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dapat meningkat menjadi dua dan lima kali daripada saat istirahat.
            Olahraga teratur membuat sistem kardiovaskular lebih efisien memompa darah dan menyalurkan oksigen ke otot-otot yang bekerja. Pelepasan adrenalin dan asam laktat ke darah akan meningkatkan denyut jantung. Olahraga meningkatkan kerja beberapa komponen berbeda pada sistem kardiovaskular, seperti stroke volume (SV), cardiac output, tekanan darah sistolik, dan tekanan arterial rata-rata.


DAFTAR PUSTAKA
http//emedicine.medscape.com/artikel.88484 overview pada  2012-12-11
Guyton & Hall, 2007. Buku Saku Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Buku       Kedokteran: EGC.
Fox, E.L, Bowers R.W, and Foss, ML. 1993. The Physiological Basic Of Exercise             and Sport. Fifth edition. USA.Wim C. Brown Publisher.
Ganong, WF.2001. Review of medical physiology. 20 th edition. USA; Mc Graw- Hill.
GLENCOE Online Learning Center. "Action of Glucocorticoid hormone". Accesed 27 November 2012.
Hamilton on BC Decker Inc. 2003. Physiologic and Pharmacologic Effects of        Corticosteroids. Accesed 27 November 2012.

Sherwood, L. 2010. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta. ECG.

Share this

0 Comment to "PENGARUH LATIHAN FISIK TERHADAP HORMON ADRENOKORTIKAL"

Post a Comment