Wednesday, January 29, 2014

LATIHAN DAN GLUKOKORTIKOID (KORTISOL)




BLOG INI SEMENTARA DALAM MAINTANANCE

JIKA INGIN DAPATKAN PENJELASAN SECARA LENGKAP
SILAHKAN KUNJUNGI BLOG DIBAWAH INI :

https://www.sumberilmu.online

https://www.sumberilmu.online/2018/09/latihan-dan-glukokortikoid-kortisol.html

Terima kasih banyak


Wednesday, January 22, 2014

ALDOSTERON, RAAS SYSTEM DAN AKTIVITAS FISIK

Sport_Medicine_Online



ALDOSTERON, RAAS SYSTEM DAN AKTIVITAS FISIK




Oleh :
Aminuddin                                                     011214553004
Amir Chamdani                                            011214553009
Taufiq Widyabakti                                       011214553013
Dony Ardy Kusuma                                      011214553014

  

BAB 1
PENDAHULUAN



Korteks adrenal menghasilkan beberapa hormon steroid, yang paling penting adalah kortisol, aldosteron dan androgen adrenal. Korteks adrenal terdiri dari daerah yang secara anatomi dapat dibedakan yaitu lapisan luar zona glomerulosa, merupakan tempat dihasilkannya mineralokorticoid (aldosterone), lapisan tengah zona fasciculata pada lapisan tengah, dengan tugas utama sintesis glukokortikoid, terutama diatur oleh ACTH dan lapisan dalam zona reticularis, tempat sekresi androgen adrenal (terutama dehydroepiandrostenedion (DHEA) juga glukokortikoid (kortisol and corticosteron).
Aldosteron adalah mineralokortikoid terpenting, mengatur keseimbangan air dan elektrolit melalui pengendalian kadar natrium dan kalium dalam darah Sekresi aldosteron diatur oleh kadar natrium darah, tetapi terutama oleh mekanisme renin-angiotensin. Peningkatan konsentrasi kalium yang rendah dapat menyebabkan beberapa kali peningkatan aldosterone beberapa kali. Dan juga aktivasi dari system renin-angiotensin, biasanya sebagai efek dari berkurangnya aliran darah ke ginjal, dapat menyebabkan peningkatan sekresi aldosterone yang besar. Selanjutnya Aldosteron akan bekerja di ginjal dengan membantu ginjal mengeluarkan kelebihan ion kalium, meningkatkan volume darah dan tekanan arteri, jadi mengembalikan sistem renin-angiotensin dalam keadaan normal.
Sedikit penelitian yang membahas tentang keadaan aldosterone pada saat beraktifitas fisik, diyakini erat kaitannya peningkatan aldosterone pada peningkatan tekanan darah dan berkurangnya volume cairan dalam darah. Ini menjadi penting untuk dibahas tentang keadaan aldosteron dikarenakan kerjanya yang mengatur keseimbangan cairan tubuh yang dimana cairan tubuh itu sendiri menjadi faktor yang penting pada saat kita melakukan aktifitas fisik.

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Hormon Aldosterone
Aldosterone merupakan hormone utama dari mineralkortikoid, di keluarkan oleh kelenjar adrenal bagian luar yang disebut dengan korteks adrenal.  Aldosterone termasuk dalam hormone steroid karena struktur utamanya yang terdiri dari unsur kolesterol. Hormone ini berdifusi dengan mudah ke dalam membrane sel, baik dari sel asal atau ke target organ.
Gambar 2.1 Lapisan pada adrenal korteks

Korteks adrenal terdiri atas 3 lapisan atau zona, yaitu zona glomerusa – lapisan terluar, zona fasikulata – lapisan tengah dan yang terbesar, dan zona retikularis – lapisan paling dalam. Aldosterone secara eksklusif diproduksi di zona glomerusa, semua hormone adrenol korteks bersifat lipofilik artinya diangkut ke dalam darah dalam keadaan terikat ke protein plasma terutama albumin.
2
Efek utama hormone aldosterone adalah pada keseimbangan Na+ dan K+ serta homeostasis tekanan darah. tempat kerja utama aldosteron adalah di tubulus distal pada ginjal, disini hormone aldosterone akan bekerja dalam mendorong retensi pada Na+ dan meningkatkan eliminasi K+ sewaktu waktu pada saat proses pembentukan urine. oleh faktor yang berkaitan dengan penurunan Na+ dan tekanan darah serta stimulasi langsung korteks adrenal oleh peningkatan konsentrasi K+ plasma. dalam kerjanya, hormone aldosterone termasuk dalam bagian sistem renin – angiotensin – aldosterone yang meregulasi volume darah dan tekanan darah.

2.2 Sistem Renin – Angiotensin – Aldosterone
Hormon aldosterone dalam kerjanya sebagai regulator absorpsi natrium dan meningkatkan sekresi kalium. Sistem renin – angiotensin – aldosterone merupakan suatu sistem yang melibatkan hormone aldosteron, renin dan angiotensin yang berfungsi untuk mengatur tekanan darah dan volume cairan tubuh. Dalam mekanisme ini terdapat beberapa hormone diantaranya adalah :
1.      Renin :
suatu hormone enzimatik yang dikeluarkan ginjal, renin dikeluarkan ke dalam darah dalam merespon terhadap NaCl , volume cairan ekstraselular dan tekanan darah.
2.      Angiotensin :
merupakan bentukan dari angiotensinogen yang di sekresi oleh hati,  angiotensinogen akan dirubah kedalam bentuk angiotensin I oleh renin. Angiotensin I memiliki sifat vasokonstriktor yang ringan tetapi dapat bertahan lama dalam darah. Setelah itu angiontensin I akan diubah ke angiotensin II oleh angiotensin converting enzyme yang diproduksi di paru. Angiotensin II merangsang korteks adrenal untuk mengeluarkan hormone aldosterone
3.      Aldosterone :
 sebagai regulator keseimbangan Na+ dan K+ serta homeostasis tekanan darah, retensi Na+ yang terjadi akibat aldosterone menimbulkan efek osmotik yang menahan lebih banyak H2O pada cairan ekstraselular.

     Mekanisme kerja dari sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron dapat dimulai dari rangsangan penurunan volume darah (contohnya kekurangan cairan) atau tekanan darah (contohnya saat  terjadi pendarahan). Hal ini akan merangsang ginjal untuk mengsekresi renin yang akan dilepaskan ke dalam sirkulasi darah dan bertemu dengan angiotensinogen yang disekresi oleh hati.  angiotensin akan berubah menjadi angiotensin I setelah itu bertemu dengan Angiotensin converting enzyme (ACE) yang dihasilkan di endotel pembuluh paru yang akan berubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II akan menyebabkan beberapa efek, yaitu :

1.      Vasokontriksi di seluruh tubuh terutama di artetiol yang akan meningkatkan tahanan perifer total sehingga terjadi peningkatan tekanan arteri.
2.      Menurunkan ekskresi garam dan air sehingga meningkatkan volume ekstra sel yang menyebabakan peningkatan tekanan arteri juga.
3.      Merangsang sekresi aldosteron di kelenjar adrenal yang meningkatkan reabsorpsi garam dan air oleh ginjal
4.      Dan, merangsan susunan saraf pusat untuk menjadi haus sehingga kelenjar pituitary posterior mengeluarkan hormone vasopressin (ADH) yang akan menstimulasi reabsorpsi air dan peningkatan rangsangan simpatis untuk peningkatan curah jantung.

2.3 Hormon Aldosterone dan aktifitas fisik
Hormon aldosteron dalam kerjanya tidak terlepas dari sistem renin – angiotensin – aldosterone. Sistem Renin – Angiotensin – aldosterone mempunyai peranan utama dalam meregulasi respon fisiologis dan adaptasi dari keseimbangan cairan elektrolit sebagaimana yang terjadi pada fungsi kardiovaskular pada saat beraktifitas fisik. Sedikit penelitian yang membahas tentang keadaan sistem renin – angiotensin – aldosterone dan aktifitas fisik. Yang terdapat dalam literatur yang beredar adalah kadar aldosterone akan meningkat seiring dengan intensitas latihan yang dilakukan oleh sampel.

           Dalam literature oleh Buono & Staesen dikatakan bahwa peningkatan konsentrasi aldosteron terjadi secara lambat untuk 2 penyebab , yang pertama adalah adanya stimulus angiotensin II, dan yang kedua adalah respon yang meningkatkan aldosteron itu sendiri yang terjadi setelah beberapa rangkaian dalam sistem renin – angiotensin – aldosteron.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Perrault yang melakukan aktifitas fisik jangka pendek dengan intensitas 67% dari VO2max menggunan ergocycle mengatakan bahwa dengan intensitas yang tetap akan terjadi peningkatan plasma aldosteron seiring dengan durasi latihan yang semakin meningkat.

          Peningkatan juga terjadi pada konsentrasi renin dan angiotensin. Dikutip dari Scott & Edward dibuktikan bahwa terjadi peningkatan pada ketiga hormone dalam sistem sistem renin – angiotensin – aldosteron

            Pelepasan dari aldosterone pada saat beraktifitas fisik dipengaruhi dari intensitas pada saat aktifitas fisik, dalam satu penelitian oleh Penelitian oleh Montain 1997. melakukan aktifitas fisik intensitas rendah selama 20 menit, peningkatan sebanyak 12%, intensitas sedang,peningkatan sebanyak 50%, intensitaa berat, peningkatan 75% sampai 80%. Mekanisme ini nampakanya berhubungan dengan sistem saraf simpatis dan catecholamine. Aktifitas fisik menyebabkan peningkatan aktifitas simpatis – catecholamine, hal ini bisa mengakibatkan aktifnya beta adenoreceptors pada pembuluh arteri di ginjal, sehingga arteri menjadi vasokontriksi dan mengurangi aliran darah ke ginjal, hal ini mengakibatkan tekanan darah naik dan merangsang produksi renin oleh ginjal yang berujung pada meningkatnya aldosterone.
            pada aktivitas jangka pendek, konsentrasi angiotensin lebih tinggi daripada konsentrasi aldosterone dikarenakan sekresi renin pada ginjal dan pada aktivitas jangka panjang sekresi aldosterone akan lebih tinggi dibandingkan angiotensin, ini diakibatkan keseimbangan cairan tubuh yang terganggu ( dehidrasi ).



BAB 3
KESIMPULAN

            Aldosterone di sekresi oleh adrenal korteks untuk meregulasi konsentrasi Na+ dan K+ di dalam tubuh. ini dilakukan untuk menjaga homeostasis cairan dalam tubuh. dalam kerjanya. Aldosterone berhubungan dalam suatu sistem berupa sistem renin – angiotensin. Sistem gabungan ini saling berikatan satu sama lain dalam menjaga regulasi cairan dan tekanan darah dalam tubuh.
            Dalam hubungan dengan aktifitas fisik. Peningkatan baik kadar aldosteron – renin dan angiotensin sejalan dengan peningkatan pada latihan baik pada intensitas beban maupun durasi pada saat latihan. Perbedaan yang terjadi hanya pada kadar angiotensin yang lebih tinggi daripada aldosteron pada saat aktifitas jangka pendek dan pada saat beraktifitas jangka panjang, peningkatan aldosteron lebih tinggi ini dipercaya akibat ketidakseimbangan pada cairan tubuh.


DAFTAR PUSTAKA

Buono MJ. Yeager JE.1991. Increases in aldosterone precede those of cortisol during graded exercise. J. sports Med Phys Fitness.
Garret William E. 2000. Exercise and Sport Science. Lippicott Williams and wilkins.
Guyton AC and Hall JE. 2006. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Elsevier Inc, Philadelphia.
Hernawati, Sistem renin-angiotensin-aldosteron : perannya dalam pengaturan tekanan darah dan hipertensi.  FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia. Artikel tidak dipublikasi.

H. Perrault, M. Cantin.1991. Plasma Atriopeptin response to prolonged cycling in humans. American Physiology Society

Ikawati, Zullies. 2008. Pengantar Farmakologi Molekuler. UGM Press. Yogyakarta.
Montain SJ,Laird JE. 1997. Aldosterone and vasopressin responses in the heat: hydration level and exercise intensity effects. Med Sci Sports Exerc. 29(5):661-8.
Montain SJ, 1997. Aldosterone and vasopressin responses in the heat: hydration level and exercise intensity effects. Med Sci Sports Exerc. (5):661-8.
Sherwood L. 2004. Human Physiology From Cells to System. 5th ed. Thomson Learning Inc, USA.




 




Sunday, January 19, 2014

METODE PEMANASAN : UNTUK ANAK DAN USIA REMAJA

Sport_Medicine_Online
ANAK DAN USIA REMAJA
Aminuddin, S.Or.,M.Kes
(Praktisi sekaligus Akademisi bidang Ilmu Kesehatan dan Olahraga)

BLOG INI SEMENTARA DALAM MAINTANANCE

JIKA INGIN DAPATKAN PENJELASAN SECARA LENGKAP
SILAHKAN KUNJUNGI BLOG DIBAWAH INI :



https://www.sumberilmu.online/2019/06/metode-pemanasan-untuk-anak-dan-usia.html

https://www.sumberilmu.online

Saturday, January 18, 2014

Pertimbangan Genokologi yang berhubungan dengan latihan dan wanita

Ikor Unair"Online"

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
            Ada dua pertimbangan penting ginekologi yang berhubungan dengan latihan yang sebaiknya dibahas, yaitu : (1) haid atau menstruasi dan (2) kehamilan, persalinan dan cedera organ reproduksi.
1.2              Tujuan
            Makalah ini dibuat untuk menyelesaikan tugas yang diberikan Dosen pembimbing serta menjadi media penambah wawasan dalam proses pembelajaran khususnya tentang perempuan dan olahraga.


BAB 2
PEMBAHASAN
2.1       Pertimbangan Ginekologi
Ada dua pertimbangan penting ginekologi yang berhubungan dengan latihan yang sebaiknya dibahas, yaitu : (1) haid atau menstruasi dan (2) kehamilan, persalinan dan cedera organ reproduksi.
2.1.1        Haid/ Menstruasi
Fokus utama mengenai siklus mentruasi pada atletik adalah pada pengembangan baik pola yang tidak teratur  (oligomenorrhea) atau penhentian di atas 90 hari (amenorrhea). Amenorrhea primer didefinisikan sebagai keterlambatan mentruasi pertama (menarche) melampaui dari usia 16 tahun, sedangkan amenorrhea sekunder adalah berhentinya menstruasi pada perempuan yang sebelumnya telah menstruasi.
2
Siklus menstruasi (ovulasi) adalah fenomena fisiologi yang kompleks. Wells dan Hale sudah mempresentasikan diskusi fisiologi dan respon menstruasi selama keikutsertaan dalam olahraga (sport). Beberapa tipe amenorrhea sekunder dapat diidentifikasikan, termasuk : (1) anovulasi hipotalamik kronis, (2) anovulasi pituitari kronis, (3) umpan balik yg kurang sesuai antara hipotalamus atau pituitari, dan (4) endokrin atau disfungsi metabolik lain. Amenorrhea atletik ditempatkan pada kategori anovulasi kronis. Sepanjang organ memungkinkan dan faktor psikogenik mendukung amenorrhea sekunder, hal ini menyulitkan peneliti untuk menyajikan penyebab dan akibat pasti yang berhubungan dengan faktor-faktor spesifik tentang keikutsertaan olahraga dan amenorrhea sekunder. Namun, mari kita coba dengan mendiskusikan beberapa kemungkinan penyebab dan faktor-faktornya.


Gambar 2.1.  The age which menstruation begins (menarche) is significantly higher in the American female athlete than in her nonathletic counterpart. As indicated, both high-school and college athletes attained menarche later than nonathletes, and the various groups of national and Olympic athletes attained menarche later than the high- school and college athletes. (Based on data from Feicht et al., Malina et al., Stager et al., and Wakat and Sweeney).

2.1.2        Usia Menarche
Usia mulai menstruasi (menarche) secara signifikan lebih tinggi pada atlet perempuan Amerika dibandingkan pada non atlet. Contoh dapat dilihat pada gambar 2.1, atlet-atlet SMA dan college terlihat menarche secara signifikan lebih lambat dibanding non atlet dan beberapa grup atlet nasional dan olimpiade menarche secara signifikan lebih lambat dibanding atlet SMA dan college. Hasil ini mengindikasikan keterlambatan menarche atlet kaliber nasional dan internasional dan hubungan antara keterlambatan menarche dengan level kompetisi utama. Dalam satu penelitian yang melibatkan perenang kompetisi, atlet yang lebih sukses melaporkan terlambat menarche dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang kurang sukses.
Di sisi lain, usia menarche atlet-atlet Hungaria diketahui hanya sedikit terpengaruh dengan kompetisi atletik.  Perenang Swedia, usia menarche sedikit lebih awal dibandingkan dengan non atlet, sedangkan pada perenang muda lainnya (11-12 tahun), kematangan seksualnyalebih cepat, yang ditunjukkan dengan pengembangan payudara dan rambut pubis/ kemaluan, ditemukan pada finalis dari kompetisi kelompok umur nasional dibandingkan dengan semifinalis. Hasil ini menyimpulkan bahwa mungkin ada hubungan kematangan yang berbeda untuk olahraga yang berbeda dan level kompetisi antara atlet perempuan negara yang berbeda. Namun, sebagian besar informasi ini, berbeda dengan informasi terbaru yang dikumpulkan pada gambar 1.1, yang sudah dikumpulkan hampir 25 tahun yang lalu. Pada waktu itu, latihan dan kompetisi pada program atletik perempuan banyak perbedaan dalam ruang lingkup dan intensitas daripada saat ini, faktor yang pasti akan memiliki pengaruh pada hasil.
Setiap saat, mengingat fakta bahwa terlambatnya menarche pada sebagian besar atlet perempuan dengan kemampuan tinggi, menimbulkan dua pertanyaan : (1) apakah yang menyebabkan terlambatnya menarche dan (2) apakah maknanya? Mengenai penyebabnya, telah menunjukkan bahwa olahraga menyebabkan peningkatan prolaktin, salah satu hormon yang di sekresi oleh kelenjar pituitari dan bertanggung jawab mempersiapkan payudara untuk menyusui (laktasi). Pada atlet remaja, hal ini bisa menciptakan apa yang dirujuk sebagai “prolactin impregnation” pada ovarium yang matang, efek yang cukup untuk menunda pematangan lebih lanjut dari ovarium dengan hormon lain yang di sebut follicle-stimulating hormone(FSH). Hal ini dapat mengakibatkan terlambatnya menarche atau kondisi amenorrhic sementara (berhentinya menstruasi) agak mirip dengan ibu yang menyusui.
Hubungan terlambatnyamenarche dan keberhasilan dalam olahraga mempunyai dua signifikansi utama, satu berkaitan dengan aspek-aspek fisiologi dan yang lain dengan aspek-aspek sosiologi.
1.                  Karakteristik fisik dan fisiologi berhubungan kematangan pada perempuan, dalam banyak hal, lebih sesuai untuk performa/penampilan atletik yang sukses. Contohnya pada perempuan dengan kematangan lambat mempunyai tungkai panjang, hip yang ramping, berat yang kurang, dan lemak tubuh relatif sedikit dibandingkan perempuan dengan kematangan awal. Sebaliknya, pada renang, kematangan awal dibandingkan dengan kematangan lambat mungkin lebih banyak keuntungannya karena kekuatan yang besar dan lemak tubuh cenderung meningkatkan performa renang pada perempuan. Ini akan berkorelasi baik dengan temuan tersebut bahwa usia yang sedikit lebih awal menarche pada perenang Swedia, dan usia finalis renang kelompok lebih dikembangkan sesuai jenis kelamin.
2.                  Pada kultur/ budaya Amerika, kematangan perempuan yang kemudian di sebut “sosialis” jauh dari kompetisi olahraga. Akibatnya, perempuan dengan kematangan lambat cenderung menampilkan level yang tinggi dibanding rekan-rekan mereka yang matang awal dengan usia yang sama pada remaja     (misal : 14-15 tahun). Dengan kata lain, setelah perempuan mengembangkan karakteristik penuh sebagai perempuan dewasa, minatnya, melalui tekanan sosial, diarahkan jauh dari olahraga dan keluarga dan/ atau tujuan karir. Meskipun perubahan ini, masih merupakan faktor yang signifikan saat ini.
Catatan akhir yang tepat. Usia rata-rata menarche di United state dilaporkan 12.8 tahun dengan standar deviasi 1.2 tahun. Artinya, secara statistik, 95% dari semua remaja perempuan mendapatkan menarche pada usia 15.15 tahun dan 99% mendapat menarche 15.9 tahun. Tak satu pun dari kelompok atletik pada gambar 2.1 memiliki nilai rata-rata di luar distribusi normal. Permulaan/ awal menarche dianggap tidak terlambat, oleh dokter spesialis reproduksi endokrinologi, kecuali remaja perempuan tetap premenarchal pada usia 16 tahun.
2.2              Latihan dan Gangguan Menstruasi
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan bertahun-tahun yang lalu, kesimpulannya adalah bahwa olahraga tidak muncul untuk mempengaruhi gangguan menstruasi secara signifikan. Seperti contoh, pada 1963, dilaporkan bahwa pada kelompok perempuan perenang elit Swedia, 81% memiliki menstruasi yang teratur di sekitar interval 4 minggu. Kedua durasi menstruasi dan kehilangan darah tidak berbeda dari yang biasanya ditemukan pada gadis-gadis muda. Pada 1964, dari 557 atlet wanita Hongaria, 84% menunjukkan tidak ada perubahan dalam siklus menstruasi mereka karena keikutsertaan olahraga. dari 16% yang memang menunjukkan tanda-tanda perubahan, 30% yang menguntungkan, sedangkan 70% tidak menguntungkan. Perubahan yang tidak menguntungkan lebih sering pada yang lebih muda dibandingkan pada kelompok usia yang lebih tua. Siklus menstruasi ditemukan berirama pada 61 dari 66 atlet wanita yang ikut serta dalam olimpiade 1964.
Kesimpulan sebelumnya bahwa olahraga tidak secara signifikan mempengaruhi gangguan menstruasi diubah berdasarkan temuan penelitian baru-baru ini. Hal ini terutama berlaku untuk atlet wanita yang terlibat dalam pelatihan intensitas tinggi dan kompetisi, seperti dalam lari jarak jauh, senam, renang, penari balet profesional. Sebagai contoh, sekitar sepertiga dari pelari jarak jauh perempuan mengembangkan amenorrhea (penghentian menstruasi) selama pelatihan mereka dan musim kompetitif.  Ini bisa dilihat pada gambar 14.27. di A, kejadian amenorrhea adalah 34% pada kelompok pelari, 23% pada kelompok jogging, dan hanya 4% pada kelompok kontrol yang tidak berlari. Pada penelitian ini, pelari perempuan didefinisikan sebagai mereka yang berlari lebih dari 30 mil per minggu dan dikombinasikan lama, berlari jarak lambat dengan kecepatan kerja. Para joggers, di sisi lain, yang didefinisikan sebagai perempuan yang berlari lambat dan mudah yang hanya 5 sampai 30 mil per minggu. rata-rata jumlah menstruasi per tahun untuk kontrol adalah 11,85, 10,32 untuk jogging, dan untuk pelari 9.16 (gambar 14.27)
Untuk evaluasi yang lebih lanjut dari pola menstruasi pelari perempuan yang diberikan dalam inset Gambar 14.27B. sebanyak 24% dari pelari wanita memiliki lima atau lebih sedikit menstruasi per tahun. juga, meskipun tidak ditunjukkan pada gambar, kejadian amenorrhea tampaknya secara signifikan lebih besar pada mereka pelari wanita dan lari dengan akhir awal menarche, yang tidak mengalami kehamilan, atau yang telah mengambil hormon kontrasepsi.

Gambar 2.2.           A. Approximatelly one-third of female distance runners develop amenorrhea (cessation of menstruation) during their training and competitive seasons. B. The average number of menses per year is lower in runners and joggers than in controls. Further evaluation of the menstrual pattern of female runners is given in the inset. (Based on data from Dale et al.)
Penyebab pasti amenorrhea pada atlet perempuan tidak diketahui. Namun, apapun penyebabnya, itu tampaknya terkait baik dengan intensitas pelatihan atau kekurangan gizi, atau keduanya, pada individu sangat rentan terjadi.Sebagai contoh, lihat pada gambar 2.2 penyebab dari amenorrhea pada atlet perempuan adalah pada pelari jarak menengah didapatkan secara langsung terkait dengan pelatihan jarak tempuh mingguan mereka. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa amenorrhea disebabkan oleh pelatihan atau kompetisi itu sendiri, atau oleh beberapa faktor lain yang berhubungan dengan latihan kronis, seperti kehilangan berat badan atau stres fisiologis umum, dalam kasus latihan/ training itu sendiri, training yang lebih intensif dapat menyebabkan kinerja yang lebih baik dan dengan demikian lebih meningkatkan stress.


Gambar 2.3.         The incidence of amenorrhea in female middle-distance runners is direcly related to their weekly training milage

Penurunan berat badan yang berlebihan melalui pengurangan simpanan lemak tubuh telah terbukti berhubungan dengan amenorrhea. Simpanan lemak yang lebih rendah banyak pada atlet perempuan, khususnya lari jarak jauh dan senam, bisa menjadi kemungkinan penyebab amenorrhea pada atlet ini. Bagaimanapun, mungkin tak ada jumlah tunggal kehilangan lemak tubuh, atau pelatihan dalam hal ini, yang akan menyebabkan amenorrhea di setiap perempuan. Sebaliknya, setiap perempuan mungkin memiliki ambang batas yang berbeda untuk amenorrhea, yang mungkin terkait dengan salah satu faktor yang telah disebutkan sebelumnya. Faktor lain yang harus dikenalkan adalah kemungkinan kekurangan gizi kronis pada bagian tertentu dalam populasi atletik. Ketika pelari amenorrheic (AR) dan pelari eumenorrheic (ER) dibandingkan pada dasar asupan makanan, ada perbedaan dalam asupan kalori total antara kedua kelompok ini. Pada satu penelitian, asupan kalori tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok, sedangkan yang lain, pelari eumenorrheic memiliki asupan kalori lebih tinggi daripada pelari amenorrheic. Dalam kedua studi, jarak tempuh total tercakup dalam mingguan, melebihi 31 mil per minggu dan berat badan yang stabil selama beberapa bulan. Tingkat metabolisme istirahat lebih rendah pada pelari amenorrheic daripada pelari eumenorrheic. Dalam kata lain, kebutuhan kalori istirahat untuk pelari amenorrheic adalah pada tingkat yang lebih rendah. Lebih lanjut, ia mengamati bahwa kekurangan gizi yang nyata dan bahwa pelari amenorrheic dinilai lebih tinggi pada skala pola makan menyimpang. Tampak bahwa pelari amenorrheic dipertahankan keseimbangan energi (pemeliharaan berat badan) melalui pengurangan resting metabolic rate (RMR).
Pada akhirnya, pertanyaan-pertanyaan dari apa yang terjadi pada jenis-jenis gangguan haid setelah latihan dan kompetisi dihentikan harus ditangani. Seperti yang mungkin diharapkan, jawaban lengkap untuk pertanyaan ini belum tersedia.Bagaimanapun, dasar dari hasil penelitian ini adalah melibatkan perempuan muda kelompok perenang. Tampak bahwa setelah kompetisi dan pelatihan dihentikan, menstruasi akan kembali ke pola normal, dan fungsi melahirkan anak perempuan yang normal dalam segala hal. Agaknya, ini akan berlaku juga untuk olahraga lain.
Dysmenorrhea (nyeri haid) mungkin tidak diperburuk atau disembuhkan dengan keikutsertaan olahraga. Jika ada, mungkin kurang umum pada wanita yang aktif secara fisik dibandingkan mereka yang tidak. Bagaimanapun, 30% dari sekelompok perenang kompetitif menyatakan bahwa berenang menyebabkan nyeri di bagian bawah perut. pada setiap tingkat, dysmenorrhea, jika tidak parah, seharusnya tidak menghambat kinerja, setidaknya dari sudut pandang fisiologis. Bagaimanapun, faktor fisiologis juga memainkan peran penting.
2.3              Performa dan Menstruasi
Pada tabel 2.1. adalah kompilasi dari temuan yang diperoleh dari berbagai atlet perempuan yang relatif terhadap performa mereka selama mengalami menstruasi. Secara umum, hasil ini dilihat dari kebanyakan atlet muda, kinerja fisik itu sendiri tidak terpengaruh secara material oleh periode menstruasi. Bagaimanapun, ada variasi individual yang cukup besar. Dari para atlet perempuan yang melaporkan performa yang lebih buruk selama menstruasi, sebagian besar adalah atlet endurance (misalnya, pemain tennis dan atlet dayung). Performa pada pemain bola voli, bola basket, atlet renang, dan senam lebih baik untuk atlet endurance tetapi masih di bawah normal. Performa atlet atletik dan lapangan terutama sprinter, tidak terpengaruh hampir begitu banyak oleh menstruasi seperti penampilan oleh atlet lain. Performa medali emas telah dilaporkan dalam renang dan atletik.
Tabel 2.1 Peformance During Menstruation

Performance
Caliber of performance

Reference

Sport
Better
%
No
Change %
Poorer
%

Variabel

Olimpics

81
Track and Field

29

63

8


Olimpics
69
variety
19
43
38

Olimpics
147
Variety
3
37
17
28
Unspecified
41
Variety
13-15
42-48
31-38

Unspecified
8
Swimming
4
48
48


Dari sudut pandang fisiologis, tanggapan metabolik dan kardiovaskular saat istirahat, selama latihan submaksimal, dan selama latihan maksimal tidak terpengaruh secara sistematis selama fase yang berbeda dari siklus menstruasi. Contoh ini ditunjukkan (Gambar 2.4.) dalam suatu penelitian, respons metabolik dan kardiovaskular ditentukan saat istirahat dan selama latihan pada delapan atlet perempuan dilatih dan sembilan perempuan terlatih selama tiga tahap berikut dari siklus menstruasi: (1) 7 hari setelah ovulation (fase pra-menstruasi), (2) 3 hari setelah timbulnya pendarahan (fase menstruasi), dan (3) 13 hari setelah terjadinya pendarahan (fase pasca menstruasi). Seperti dapat dilihat, tidak ada respons, baik saat istirahat atau selama latihan, secara signifikan dipengaruhi oleh oleh fase yang berbeda dari siklus. Hasil serupa telah ditemukan oleh orang lain, meskipun beberapa fluktuasi fisiologis kecil saat istirahat, namun tidak selama latihan, juga telah dilaporkan.
Gambar 2.4. Metabolism and cardiovascular responses, A, at rest and, B, during maximal exercise are not systematically affected during the premenstrual phase (7 days after ovulation), the menstrual phase (3 days after the onset of bleeding), andthe postmenstrual phase (13 days after the onset of bleeding) of the menstrual cycle. (Based on data from Fox et al. And Martin)
2.4              Pelatihan dan Kompetisi selama Menstruasi
Apakah atlet wanita harus latihan dan atau bersaing selama menstruasi mereka (menstruasi) adalah masalah pribadi. Seperti terlihat pada tabel2.2,69% dari wanitayang disurvei pada olahraga Olimpiade di Tokyo yang selalu berkompetisi selama menstruasi. Namun, hanya 34% yang latihan selama menstruasi. Semua berkompetisi terutama yang melibatkan kompetisi tim. Tren serupa ditemukan untuk sekelompok perenang muda perempuan,dari 27 anak perempuan, hanya 7 yang latihan selama menstruasi, namun pada saat kompetisi semua ikut berpartisipasi meskipun bertepatan dengan menstruasi mereka.
Table 2.2
Survey of olimpic sportswomen concerning participation in training and during competition during menstruation
Participation during menstruation (%)


Always
Sometimes
Never

Training
34
54
12
Competition
69
31


Dari sudut pandang medis, ada beberapa ketidak sepakatan mengenai partisipasi olahraga selama menstruasi. Beberapa dokter percaya bahwa partisipasi(pelatihan dan kompetisi) seharusnya tidak diperbolehkan pada mereka untuk olahraga  yang menyebabkan kejadian  lebih besar terhadap menstruasi. Seperti yang disebutkan di atas yaitu olahraga seperti lari jarak jauh, ski, senam, tenis, dan dayung.  Banyak dokter menyarankan agar berenang saat menstruasi. Hal ini menarik, karena telah di tetapkan bahwa selama menstruasi, tidak adakontaminasi bakteri dari air di kolam renang dan ada tanda-tanda infeksi bakteri yang disempurnakan organ reproduksi dari perenang. Dalam penambahan, Dr AJR yan telah menyarankan bahwa penggunaan tamponintravaginal telah membuat keduanya mudah dan nyaman bagi sebagian besar perenang selama menstruasi.
Dari informasi sebelumnya, adalah wajar untuk menunjukkan bahwa atlet perempuan harus diizinkan untuk latihan dan bersaing dalam olahraga saat menstruasi asalkan mereka tahu pengalaman menyeluruh bahwa tidak ada gejala yang tidak menyenangkan akan terjadi dan bahwa kinerja mereka tidak akan sangat terpengaruh pada saat mereka latihan maupun berkompetisi selama menstruasi. Pada tingkat persaingan dalam olahraga modern, atlet tidak mampu membayar kemewahan hilang tiga atau empat hari latihan, untuk sebagian besar atlet yang kompetitif, pikiran mengenai latihan yang hilang bahkan tidak dipertimbangkan. Di samping itu, adalah sama masuk akal bahwa tidak ada atlet perempuan harus dipaksa atau diperintahkan untuk latihan atau bersaing saat menstruasi jika dia merasa tidak nyaman dan memiliki pengalaman saat menstruasi akan melakukan latihan maupun kompetisi sangat buruk.
2.5              Menstruasi dan Kekurangan Zat Besi
Kemampuan  hemoglobin untuk bergabung dengan oksigen tergantung pada komponen besi (heme). Penyediaan iron yang memadai oleh tubuh perlu untuk mencegah terjadinya iron deficiency (anemia). Anemia adalah terjadinya penurunan dari sel darah merah atau penurunan pada kadar hemoglobin. Penurunan sel darah merah adalah penanda terjadinya penurunan zat besi karena sebagian besar zat besi digunakan untuk produksi hemoglobin baru.
Pada bab yang telah disebutkan sebelumnya, beberapa bukti menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan terhadap penurunan zat besi dibanding laki-laki yang disebabkan hilangnya zat besi melalui menstruasi pada perempuan. Dalam penelitian tentang status nutrisi pada atlet menunjukkan bahwa atlet perempuan yang mengonsumsi zat besi dalam jumlah yang memadai dalam pengaturan makanan mereka. Ditambahkan pula bahwa kondisi tersebut pada atlet perempuan kemungkinan lebih dipengaruhi oleh kebutuhan zat besi yang lebih besar selama latihan fisik. Sebagai contoh beberapa penelitian menunjukkan penurunan zat besi dalam plasma darah pada perempuan setelah latihan fisik.  Sedangkan lainnya menunjukkan penurunan signifikan pada penyediaan zat besi. Di sisi lain penelitian juga telah melaporkan bahwa pengubahan yang tidak signifikan zat besi, konsentrasi hemoglobin, atau kapasitas pengikatan zat besi dalam plasma darah pada atlet perempuan yang melakukan latihan fisik.  Penemuan ini untuk menunjukkan kenyataan tentang pemberian atau tanpa pemberian oral suplemen zat besi. Kesimpulan berikut tentang kekurangan zat besi dan pemberian oral zat besi pada atlet perempuan berasal dari satu penelitian yang dilakukan oleh Pate, Maguire dan Van Wyk, menyimpulkan bahwa tidak ada dasar untuk merekomendasikan semua atlet perempuan secara rutin meminum suplemen zat besi untuk tujuan prophylactic (pencegahan penyakit). Akan tetapi pada atlet individu tertentu(orang-orang yang kekurangan zat besi dan/atauanemia) mungkin memerlukan suplemen zat besi. Kami merekomendasikan bahwa  para pelatihan, instruktur pelatihan dan tim dokter untuk benar-benar menyadari bahwa kekurangan signifikan persentasi zat besi pada perempuan akan berakibat meningkatanya resiko terkena anemia pada perempuan. Kami menyarankan tes ketersediaan Hb dan zat besi dimasukkan dalam medical screening pada atlet perempuan dan bahwa testersebutdiulangsetiap kaliseorang atletmengalamipenurunankinerjaketahanan dijelaskan.

BAB 3
PENUTUP
3.1              Simpulan
            Fokus utama mengenai siklus mentruasi pada atletik adalah pada     pengembangan baik pola yang tidak teratur (oligomenorrhea) atau       penghentian di atas 90 hari (amenorrhea). Amenorrhea primer didefinisikan   sebagai keterlambatan mentruasi pertama (menarche) melampaui dari usia 16 tahun, sedangkan amenorrhea sekunder adalah berhentinya menstruasi pada         perempuan yang sebelumnya telah menstruasi.
            Siklus menstruasi (ovulasi) adalah fenomena fisiologi yang kompleks. Wells dan Hale sudah mempresentasikan diskusi fisiologi dan respon menstruasi selama keikutsertaan dalam olahraga (sport). Beberapa tipe amenorrhea sekunder dapat diidentifikasikan, termasuk : (1) anovulasi hipotalamik kronis, (2) anovulasi pituitari kronis, (3) umpan balik yg kurang sesuai antara hipotalamus atau pituitari, dan (4) endokrin atau disfungsi metabolik lain. Amenorrhea atletik ditempatkan pada kategori anovulasi kronis. Sepanjang organ memungkinkan dan faktor psikogenik mendukung amenorrhea sekunder, hal ini menyulitkan peneliti untuk menyajikan penyebab dan akibat pasti yang berhubungan dengan faktor-faktor spesifik tentang keikutsertaan olahraga dan amenorrhea sekunder.
3.2              Saran
Materi yang disampaikan masih bersifat umum dan banyak hal lain yang berkaitan belum disampaikan, sehingga penulis berharap bagi para pembaca untuk mencari sumber lain untuk mengetahuilebih luas khususnya tentang perempuan dan olahraga .
Penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan maka dari itu diharapkan saran dan kritik dari pembaca untuk pembelajaran lebih lanjut. Terima kasih banyak kepada dosen pembimbing yang telah memberikan tugas makalah ini, sebagai proses pembelajaran untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis, sukses dan sehat selalu. Amin

DAFTAR PUSTAKA

Fox L.E, Bowers R.W and Foss M.L, 1993. The Physiological Basis for Exercise and Sport. Pg. 397-397